Kemarin Ngamuk, Hari Ini Harga Emas Goyang di Tempat

Foto: Emas Batangan ditampilkan di Hatton Garden Metals, London pada 21 July 2015 (REUTERS/Neil Hall/File Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia – Kemarin harga emas dunia mengamuk. Namun pagi ini, Jumat (14/8/2020), harga logam kuning tersebut cenderung flat meskipun dolar greenback masih melanjutkan pelemahan.

Pada 08.46 WIB, harga emas dunia di pasar spot dibanderol di US$ 1.953/troy ons. Harga logam mulia tersebut tak beranjak dari posisi sebelumnya usai kemarin melesat 1,8%. 

Harga Emas Spot (US$/Troy Ons)

Chart: Tirta Citradi Source: Refinitiv

Belakangan ini harga emas jatuh dari level tertingginya sepanjang masa ke bawah level US$ 2.000/troy ons. Pemicunya adalah aksi ambil untung serta penguatan dolar AS. 

Emas merupakan logam mulia yang dibanderol dalam mata uang dolar AS. Sehingga ketika mata uang Negeri Paman Sam tersebut menguat yang tercermin dari kenaikan indeks dolar, harga emas yang sudah mahal menjadi semakin mahal sehingga menurunkan minat investor.

Di sisi lain ekonomi AS yang mulai membaik juga tampak menjadi penghambat laju emas. Semalam Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan klaim tunjangan pengangguran di AS bertambah kurang dari 1 juta dan menjadi level terendah sejak Maret.

Memang angka ini masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan posisi sebelum pandemi Covid-19. Hanya saja angkanya terus membaik seiring dengan kembali berdenyutnya aktivitas perekonomian Negeri Paman Sam.

Kendati emas sempat terjun bebas, masih banyak pihak yang menilai prospek emas untuk jangka panjang masih cerah. Kondisi makroekonomi saat ini menjadi pendorong utama harga emas untuk naik lebih tinggi.

Emas sebagai aset safe haven sekaligus lindung nilai (hedging) diuntungkan ketika kondisi ekonomi global sedang tidak kondusif serta adanya ancaman inflasi yang tinggi di masa mendatang akibat rendahnya suku bunga dan injeksi likuiditas secara besar-besaran di sistem keuangan oleh bank sentral.

Menambah sentimen positif bagi emas, salah satu pengambil kebijakan bank sentral AS yakni the Fed mengatakan bahwa perekonomian Negeri Adikuasa masih akan tertekan selagi wabah masih belum terkendali.

Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan saat ini jumlah penderita Covid-19 secara kumulatif di AS hampir mencapai 5,25 juta orang. Tak kurang dari 167 ribu orang dilaporkan meninggal dunia. 

Pandemi Covid-19 memang merupakan risiko terbesar bagi perekonomian abad ini. Sejak merebak dan terus tereskalasi wabah yang awalnya muncul di Wuhan, China bagian tengah ini telah menyeret perekonomian global ke jurang resesi yang sangat dalam.

Ketika pandemi belum usai, tensi geopolitik antara duo raksasa ekonomi global yakni AS-China justru meningkat. Inilah faktor yang juga mendorong harga emas terbang tinggi selama 9 pekan beruntun. 

Kini investor kembali menyorot poros Washington-Beijing. Keduanya dikabarkan bakal menggelar pertemuan melalui video konferensi untuk meninjau progress kesepakatan dagang interim yang diteken 15 Januari lalu. 

AS diwakili oleh Robert Lightizer sementara dari pihak China ada Wakil Perdana Menteri Liu He yang bakal jadi delegasinya. Dalam enam bulan terakhir, progress China terbilang minim.

Dalam kesepakatan awal tersebut, China ditargetkan untuk membeli produk-produk pertanian, manufaktur, energi hingga jasa AS senilai US$ 200 miliar pada 2020-2021. Namun sampai dengan Juni, China baru mencatatkan capaian 23% saja.

Masih sangat jauh dari target memang. Namun mau bagaimana lagi, pandemi Covid-19 telah membuat ekonomi China juga anjlok pada kuartal pertama walaupun mulai bangkit pada periode April-Juni. 

Masih belum jelas akan seperti apa hasil dari pertemuan tersebut. Pelaku pasar masih terus menantikan perkembangan terkini dari kedua belah pihak.

Sedikit kabar baiknya adalah, meski hubungan bilateral Washington-Beijing memburuk, tetapi baik Trump maupun Xi Jinping tampaknya tak akan membuang begitu saja kesepakatan dibuat.

Scott Kennedy, seorang ahli China di CSIS di Washington, mengatakan kepada Bloomberg Television minggu ini bahwa “sungguh menakjubkan bahwa meskipun ada badai yang sedang mendera hubungan AS-China, baik Trump maupun Xi Jinping tak ada yang benar-benar ingin membuang kesepakatan tersebut.”

“Untuk Trump, singkatnya, ini tentang petani – penjualan yang dapat mereka lakukan untuk negara bagian yang merah [basis Partai Republikan] dalam pemilu ini,” kata Kennedy. Untuk Presiden China Xi, “ini tentang stabilitas dan menjaga hubungan agar tidak sepenuhnya runtuh,” lanjut Kennedy, mengutip pemberitaan Bloomberg.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Similar Posts