Ini Bedanya Pasar Emas 2013 & 2021, Emas Diramal ke US$ 2.300

Jakarta, CNBC Indonesia – Kinerja suram harga emas dunia pada November lalu membuat beberapa investor mengingat kembali periode 2013 saat terjadi arus keluar besar-besaran dana investor di produk ETF (exchange traded fund), produk investasi sejenis reksa dana dengan underlying emas yang diperdagangkan di bursa.

Saat itu ETF yang berbasis emas mendapat tekanan jual yang tinggi di pasar, menyebabkan harga emas dunia juga mengalami penurunan terbesar dalam 30 tahun terakhir.

Pada November lalu, SPDR Gold Shares, ETF yang tercatat di Bursa New York Stock Exchange (NYSE) alias Wall Street, dengan kode GLD, mengalami tekanan jual lebih dari 60 ton emas dari kepemilikannya di November.

Berkurangnya kepemilikan emas di produk ETF tersebut terjadi karena pasar emas dunia mengalami penurunan harga terburuk dalam 4 tahun terakhir.

Secara global, Dewan Emas Dunia atau World Gold Council mengatakan bahwa lebih dari 100 ton emas mengalir keluar dari pasar ETF, penurunan terbesar kedua dalam catatan lembaga ini.

SPDR Gold Share adalah bagian dari ETF SPDR yang diperdagangkan di bursa NYSE yang dikelola dan dipasarkan oleh State Street Global Advisors.

Situs resminya mencatat, SPDR Gold awalnya terdaftar di NYSE pada November 2004, dan diperdagangkan di NYSE Arca (bagian dari bursa NSYE yang bisa memperdagangkan ETF) sejak 13 Desember 2007.

SPDR Gold Shares adalah ETF dengan kepemilikan secara fisik emas terbesar di dunia. Saham SPDR Gold juga diperdagangkan di Bursa Efek Singapura, Bursa Efek Tokyo, Bursa Efek Hong Kong dan Bursa Efek Meksiko.

Dalam sebuah webinar yang dikutip Kitco, sejumlah analis menilai arus keluar dana investor di ETF tetap menjadi risiko di pasar, namun sentimen dan kondisi pasar saat ini sangat berbeda dari 2013, 7 tahun lalu.

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh State Street Global Advisors, George Milling Stanley, Kepala Strategi Emas untuk perusahaan tersebut, mengatakan bahwa harga emas pertama kali bullish, yakni ketika harganya diam-diam menguat dari US$ 250/troy ons menjadi hampir US$ 1.000/troy ons.

Selama krisis keuangan 2008, investor mulai melihat emas sebagai aset safe-haven alias aset aman, ini memicu harganya terus reli reli, dan akhirnya para spekulan menangkap momentum emas tersebut, dan pada akhirnya mendorong harga dari US$ 1.000 per ons pada tahun 2010 ke level tertinggi di atas US$$ 1.900 pada tahun 2011.

“Tren penguatan terakhir, dengan investor mulai spekulatif dan secara taktis masuk ke pasar emas. Reli ke [harga pada periode] 2011 tidak pernah dianggap stabil lagi,” katanya, dikutip Kitco, Jumat (18/12/2020).

Dengan terjadinya reli 2020 (sebelum November 2020), yang mendorong harga emas di atas US$ 2.000/troy ons, Milling-Stanley mengatakan bahwa untuk sementara pasar sempat ‘menggeliat’ di Agustus, kemudian terjadi koreksi yang sehat.

Dia menambahkan bahwa pergerakan emas terlihat jauh lebih stabil dari hampir 10 tahun yang lalu. Ia menambahkan, ada alasan fundamental yang mendukung harga emas di level saat ini.

Risiko Emas di 2021: Vaksin Covid-19

Foto: Dok Antam

Adam Perlaky, Manajer Riset Investasi di Dewan Emas Dunia, yang juga berpartisipasi dalam webinar itu, mengatakan bahwa dia juga mengharapkan emas bisa terus mendapatkan keuntungan dari ketidakpastian investor lebih lanjut di tahun depan.

“Kami belum pernah melihat [senetimen] yang seperti pandemi Covid-19, dan kami benar-benar tahu seperti apa dampak ekonomi penuhnya,” katanya.

Perlaky mencatat bahwa emas terus menjadi aset safe-haven yang menarik bagi investor karena valuasi pasar ekuitas (saham) diperdagangkan pada level rekor alias kemahalan, dan imbal hasil (yield) obligasi tetap pada posisi terendah dalam sejarah, sehingga kurang menarik.

Dia menambahkan, obligasi tidak memberikan perlindungan kepada investor seperti yang pernah dilakukan instrumen seperti emas.

“Model portofolio 60/40 [membagi porsi investasi 60:40] di investasi tradisional tidak berfungsi, dan saya tidak melihat model itu kembali dalam waktu dekat,” katanya.

“Menciptakan portofolio multi-aset global yang mencakup sebagian emas adalah cara yang tepat.”

Milling-Stanley mengatakan bahwa penelitian dari State Street menunjukkan bahwa memegang alokasi 10% dalam emas memberikan keuntungan terbesar bagi investor untuk menurunkan risiko dan volatilitas pasar sambil tetap memberikan potensi imbal hasil terbaik.

Mengenai seberapa tinggi harga emas bisa naik pada tahun 2021, Milling-Stanley mengatakan bahwa dia melihat potensi emas mencapai perkiraan US$ 2.300/troy ons.

“Sulit untuk membuat celah di beberapa perkiraan yang melihat emas bisa ke US$ 2.300 per ons,” katanya. “Mengingat apa yang telah terjadi dan ke mana arah kebijakan moneter, angka prediksi ini bukanlah prakiraan yang luar biasa.

Menurut Milling-Stanley dan Perlaky, risiko emas terbesar tahun depan tetap dari vaksin virus Covid-19. Sentimen positif investor telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir karena harapan mulai tumbuh bahwa ekonomi global akan pulih lebih cepat dari yang diharapkan. Ketika ekonomi pulih, biasanya emas bakal ditinggalkan investor yang mencari aset yang lebih agresif.

Namun, kedua analis pasar ini juga mencatat bahwa ketidakpastian tidak akan hilang dalam waktu dekat.

“Saya tidak berpikir sentimen risiko akan menjadi tema yang konsisten di AS atau di seluruh dunia, dan saya pikir investor masih akan melihat emas sebagai aset safe-haven,” kata Milling-Stanley

Pada Selasa lalu, harga emas dunia akhirnya kembali melesat setelah menurun dalam berapa hari terakhir. Ekspektasi cairnya stimulus fiskal di Amerika Serikat (AS) membuat harganya kembali melesat.

Melansir data Refinitiv, harga emas dunia pada Selasa melesat 1,44% ke US$ 1.853,46/troy ons di pasar spot. Sementara pada perdagangan Rabu (16/12/2020) pukul 15:55 WIB, emas menguat 0,43% ke US$ 1.861,51/troy ons.

Similar Posts